Kisah Hikmah Sayyidina Ali Menulis Ilmu Nahwu
Kisah Hikmah Sayyidina Ali Menulis Ilmu Nahwu
Mengembangkan Ide dan Gagasan menurut Cara yang benar dan tepat.
Ilmu Nahwu
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib, menantu Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, yang menjadi khalifah keempat dalam Khulafaur Rasyidin adalah sosok yang terkenal cerdas, pemberani, dan mencintai ilmu. Al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tarikhul Khulafa’ mengutip riwayat bahwa Sayyidina Ali suatu saat ingin menulis tentang kaidah-kaidah bahasa Arab. Demikian kisahnya.
Riwayat
Abu al-Qasim az-Zujaji dalam kitabnya Al-Amali mengatakan bahwa Abu Ja'far Muhammad bin Rustam at-Thabari menceritakan kepada kami, Abu Hatim As-Sijistani menceritakan kepada kami, Ya'qub bin Ishak al-Hadhrami menceritakan kepada kami, Sa'id bin Muslim al-Bahili menceritakan kepada kami, ayah kami menceritakan kepada kami tentang kakek kami, dari Abul Aswad ad-Duali atau dia berkata, darinya Kakek kami adalah Abul Aswad, oleh ayahnya, dia menceritakan kepada kami: “Saya menyaksikan Amirul Mukminin Ali Ibnu Abi Thalib berpikir ketika aku bertemu dengannya. Lalu saya bertanya:
“Apa yang kamu pikirkan wahai Laksamana Mukminin?”
Ali menjawab: “Saya mendapat kabar bahwa di daerah anda terdapat kesalahan pengucapan bahasa Arab, maka saya ingin menulis buku tentang Ushulul Arabiyah (Hukum Bahasa Arab). »
“Kalau kamu mau melakukan itu berarti kamu akan menghidupkan kembali kami dan bahasa Arab di sini,” jawabku.
Tiga hari kemudian, saya kembali. Ali kemudian menunjukkan kepadaku sebuah shahifah (lembar buku) yang bertuliskan: “Bismillahir-Rahmanir-Rahim.” Kata-kata dibagi menjadi tiga; isim (kata benda), 2 (kata kerja) dan huruf. Kata benda adalah kata yang memberi nama. Kata kerja adalah kata yang menggambarkan tindakan sesuatu dengan nama
sebelumnya, sedangkan surat itu menyampaikan makna yang bukan berupa kata benda maupun kata kerja.
Ali berkata: “Tolong perhatikan baik-baik teksnya. Kemudian tambahkan sesuatu dari pengetahuan Anda. Wahai Abul Aswad, ketahuilah bahwa segala sesuatu terbagi menjadi tiga bagian. Ada orang yang zahir (terlihat), ada orang yang lumpur (tersembunyi), dan ada orang yang tidak zahir dan tidak lumpur. Peneliti mempunyai pengetahuan yang berbeda-beda mengenai bagian ketiga ini.
“Kemudian saya kumpulkan kaidah bahasa Arab dan tunjukkan padanya,” kata Abul Aswad. Diantaranya adalah surat Nashab. Telah saya sebutkan di antara surat-surat nashab adalah inna, anna, laita, la'alla dan kaanna. Saya tidak mencantumkan kata Lakinna.
“Mengapa tidak ditambahkan kata Lakinna pada huruf Nasab?” » Ali bertanya. Saya menjawab: “Karena menurut saya tidak sesuai dengan kerangka.
Ali berkata: “Ini bagian dari surat Nashab. Jadi mari kita taruh itu di sana.
Post a Comment for "Kisah Hikmah Sayyidina Ali Menulis Ilmu Nahwu"